Berawal dari kegemaran bernyanyi, saya bergabung di kelompok marawis di SMA. Teknik yang saya pakai ternyata belum sempurna. Sampai akhirnya saya di perkuliahan saya melihat meja pendaftaran Paduan Suara Mahasiswa Universitas Gunadarma Swara Darmagita. Hati saya tergerak untuk bergabung. Kemudian setelah saya bergabung dengan UKM tersebut, saya baru mengetahui bahwa ternyata banyak sekali kesalahan yang saya gunakan dalam bernyanyi. Salah satunya adalah system pernafasan saya.
Sistem pernafasan yang digunakan dalam bernyanyi lebih rumit dari yang saya bayangkan sebelumnya. Saya harus bernafas menggunakan diafragma, yang mana pada saat itu saya “belum” mengetahui apa itu diafragma. Diafragma adalah otot yg berada di bawah paru2 dan diatas perut (usus), persisnya di bawah tulang rusuk melingkar sampai ke depan (di bawah ulu hati). Kalau kita sedang tertawa atau batuk, maka otot2 diafragma inilah yg mensupport dorongan nafas dari paru2.
Proses yang saya tempuh untuk mencapai semua itu sangatlah sulit, dari bahu tidak boleh terangkat, dan sikap tubuh yang harus tegak. Saat mengambil nafas pun saya harus menggunakan mulut dan hidung secara bersamaan.
Perjuangan belum selesai. Ketika saya sudah mulai bisa mengambil nafas dengan benar, ada lagi langkah yang harus saya tempuh yaitu untuk mengunci nafas tersebut dan menggunakannya secara maksimal (tidak boros) agar bisa mencapai long not (suara pada nada tertentu yang dikeluarkan dengan cukup lama tanpa bernafas). Teknik ini mungkin sangat mudah dituliskan, namun pada prakteknya sangat sulit dikembangkan. Butuh konsentrasi yang tinggi untuk membagi daya piker antara bernyanyi dan bernafas. Saya akui hingga detik ini ketika bernyanyi terkadang lupa untuk menggunakan teknik bernafas yang seharusnya. Segala sesuatunya pun masih menjadi proses bagi saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar